Uniknya Tradisi Kopi Aceh: Filosofi Ngopi dan Warung Kopi Legendaris

Aceh dikenal sebagai ‘Serambi Mekkah’ sekaligus surga bagi para pencinta kopi. Bukan sekadar minuman, kopi di Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi sosial dan budaya, membentuk sebuah Tradisi Kopi yang unik dan melegenda. Budaya ngopi di Aceh telah mengakar selama ratusan tahun, sejak masa kolonial ketika perkebunan kopi mulai dibuka secara masif di Dataran Tinggi Gayo. Perbedaan utamanya dengan daerah lain terletak pada ritual penyajian, jenis biji yang digunakan (mayoritas Arabika Gayo yang terkenal dengan rasa fruity dan aroma khas), serta fungsi sosial warung kopi itu sendiri. Di Aceh, warung kopi (kedai kupi) adalah kantor kedua, ruang diskusi politik, hingga tempat melepas penat yang dapat ditemukan hampir di setiap sudut kota, buka dari dini hari hingga larut malam.

Keunikan lain dari Tradisi Kopi Aceh terlihat pada metode penyajiannya, salah satunya adalah teknik kupi saring atau kopi tubruk yang disajikan terbalik (kupi khop). Penyajian kupi khop ini berasal dari pesisir Meulaboh. Kopi disajikan dalam gelas terbalik di atas piring kecil; untuk meminumnya, penikmat kopi harus menyedot cairan kopi yang keluar sedikit demi sedikit melalui pinggiran gelas. Ritual unik ini tidak hanya menciptakan cara minum yang berbeda, tetapi juga memungkinkan kopi untuk tetap panas lebih lama. Kopi yang digunakan pun diolah dengan cara roasting yang spesifik, menghasilkan warna gelap pekat dengan rasa yang kuat dan aroma rempah yang samar-samar. Keahlian ini diwariskan oleh para ureung saring (ahli saring kopi) yang menjaga kualitas rasa.

Warung kopi legendaris menjadi pilar penting dalam melestarikan Tradisi Kopi ini. Contohnya adalah Kedai Kupi Solong yang telah berdiri sejak tahun 1974 di Ulee Kareng, Banda Aceh. Warung-warung ini berhasil mempertahankan resep dan suasana otentik, menjadi tempat berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat tanpa sekat. Menurut data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2023, terdapat lebih dari 3.000 warung kopi di seluruh Aceh, dengan sekitar 700 warung tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar saja. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran kopi dalam ekonomi kerakyatan dan interaksi sosial. Pemerintah Daerah juga serius dalam mengembangkan sektor ini. Pada bulan Maret 2025, Dinas Pertanian Gayo Lues telah menargetkan peningkatan ekspor biji Arabika Gayo sebesar 15% untuk memenuhi permintaan pasar Eropa dan Timur Tengah.

Filosofi di balik Tradisi Kopi Aceh adalah kebersamaan dan demokrasi. Duduk bersama di kedai kupi, orang membicarakan isu-isu lokal, ekonomi, hingga kesenian. Warung kopi menjadi cerminan masyarakat Aceh yang terbuka dan dinamis. Selain kupi khop, jenis kopi lain seperti kopi tarik atau kopi jahe juga diminati. Proses pembuatan kopi jahe melibatkan jahe segar yang digeprek lalu direbus bersama air dan gula, memberikan efek menghangatkan. Konsistensi dalam menjaga kualitas biji, keunikan penyajian, dan nilai sosial yang terkandung di dalamnya membuat Tradisi Kopi Aceh layak diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Fenomena ini membuktikan bahwa sebuah minuman sederhana dapat menjadi pemersatu dan motor penggerak peradaban.