Sejak pemberlakuan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Nomor 11 Tahun 2018, Provinsi Aceh secara resmi mewajibkan semua lembaga keuangan beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Kebijakan ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam menjalankan otonomi khusus. Namun, implementasi total sistem keuangan syariah ini menghadapi berbagai Tantangan Implementasi yang kompleks, terutama terkait dampaknya terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tantangan Implementasi ini meliputi adaptasi teknologi, ketersediaan sumber daya manusia, dan edukasi publik. Untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, perbankan syariah di Aceh harus mengatasi Tantangan Implementasi ini dengan strategi yang terencana dan inklusif.
Konversi dan Isu Likuiditas Awal
Salah satu Tantangan Implementasi terbesar adalah proses konversi bank konvensional menjadi bank syariah. Proses ini, yang sebagian besar selesai pada akhir tahun 2021, memerlukan adaptasi sistem IT, perubahan kontrak, dan relokasi modal. Dalam periode transisi tersebut, terjadi isu likuiditas sementara di mana beberapa bank daerah mengalami keterlambatan dalam menyalurkan pembiayaan baru.
Dampak langsung terlihat pada sektor UMKM. Pembiayaan syariah yang menggunakan skema bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) atau jual beli (murabahah) memerlukan proses penilaian risiko yang berbeda dengan pinjaman konvensional. Data dari Dinas Koperasi dan UKM Aceh menunjukkan bahwa persentase persetujuan pembiayaan bagi UMKM pada kuartal pertama tahun 2022 sempat turun sekitar 15% dibandingkan rata-rata tahun 2019 (sebelum konversi masif), karena pihak bank harus menyesuaikan standar kelayakan syariah mereka.
Tantangan Sumber Daya Manusia dan Edukasi
Tantangan Implementasi perbankan syariah juga terletak pada sumber daya manusia (SDM). Tidak semua staf bank konvensional yang beralih memiliki pemahaman mendalam tentang produk-produk syariah yang spesifik. Diperlukan investasi besar untuk melatih ribuan pegawai mengenai akad-akad syariah, manajemen risiko berbasis syariah, dan audit kepatuhan syariah yang ketat.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat dan pelaku UMKM juga belum merata. Banyak pemilik usaha mikro yang masih bingung membedakan antara margin (keuntungan bank dalam murabahah) dengan bunga konvensional. Edukasi ini sangat vital karena kesalahpahaman dapat menghambat minat UMKM untuk mengakses pembiayaan. Pemerintah Aceh telah bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk mengadakan sosialisasi rutin yang menargetkan 50.000 pelaku UMKM di seluruh kabupaten hingga akhir tahun 2025.
Jalan ke Depan: Inklusivitas dan Teknologi
Meskipun menghadapi tantangan, potensi perbankan syariah untuk mendukung UMKM sangat besar. Skema bagi hasil (mudharabah) menawarkan risiko yang lebih adil bagi UMKM karena bank ikut menanggung risiko kerugian. Untuk mengatasi kekurangan jangkauan, bank syariah di Aceh kini mulai fokus pada pengembangan layanan digital dan mobile banking. Penerapan teknologi diharapkan dapat mempermudah UMKM di daerah terpencil untuk mengajukan pembiayaan tanpa harus datang ke kantor cabang, yang dapat menghemat waktu dan biaya operasional.