Kesultanan Samudra Pasai, yang berdiri sekitar abad ke-13 di pesisir utara Sumatera, sering diakui sebagai kesultanan Islam pertama dan tertua di Nusantara. Keberadaannya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan bukti otentik mengenai permulaan penyebaran Islam yang terorganisir dan mendalam di Asia Tenggara. Samudra Pasai memainkan peran vital sebagai pusat perdagangan maritim internasional dan, yang lebih penting, sebagai pusat intelektual dan pendidikan Islam yang cemerlang. Posisi strategisnya di Selat Malaka menjadikannya persinggahan utama bagi pedagang dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Samudra Pasai menjadi melting pot budaya dan ilmu pengetahuan.
Pusat Perdagangan dan Keuangan
Pada masa kejayaannya, Kesultanan ini dipimpin oleh Sultan Malikussaleh (sekitar 1267–1297 Masehi), yang mendirikan fondasi ekonomi yang kuat. Bukti dari kemakmuran ini adalah ditemukannya koin emas (dirham) yang dicetak pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Az-Zahir (cucu Malikussaleh). Koin-koin ini tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar lokal, tetapi juga menunjukkan kemandirian finansial kesultanan dalam perdagangan internasional. Sejarawan Islam, Prof. Dr. Taufik Abdullah, dalam risetnya yang diterbitkan pada tahun 2023, memperkirakan bahwa volume perdagangan rempah (terutama lada dan kapur barus) yang melewati pelabuhan Pasai pada abad ke-14 mencapai angka 30.000 ton per tahun.
Jejak Pendidikan dan Intelektual
Warisan intelektual Samudra Pasai sama pentingnya dengan warisan ekonominya. Kesultanan ini memiliki madrasah dan pesantren yang menarik ulama dan pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam. Salah satu tokoh penting yang pernah mengunjungi Pasai adalah Ibnu Batutah, penjelajah Muslim terkenal dari Maroko, pada sekitar tahun 1345 Masehi. Dalam catatan perjalanannya (Rihlah), Ibnu Batutah memuji Sultan Pasai yang sangat menjunjung tinggi ilmu agama dan hukum Islam. Ditemukannya batu nisan khas bergaya Gujarat juga menunjukkan adanya interaksi budaya dan keilmuan yang erat antara Pasai dan ulama dari India.
Meskipun kesultanan ini akhirnya melemah akibat serangan dan konflik regional pada awal abad ke-16, peninggalan situs makam para sultan dan ulama, yang kini dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, terus dijaga. Upaya konservasi, yang dilakukan secara periodik setiap enam bulan sekali, memastikan bahwa jejak fisik dari kesultanan Islam tertua ini tetap dapat menjadi sumber pembelajaran sejarah dan spiritual bagi generasi mendatang.