Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, memiliki kekayaan budaya yang terwujud dalam arsitektur hunian tradisionalnya yang khas, dikenal dengan sebutan Rumoh Aceh. Bangunan tradisional ini tidak sekadar berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga merupakan manifestasi dari adat, syariat, dan filosofi hidup masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai Islam. Rumoh Aceh memiliki bentuk panggung dengan tiang-tiang tinggi, mencerminkan adaptasi cerdas terhadap lingkungan geografis yang rawan banjir, serta berfungsi sebagai langkah mitigasi dari serangan hewan buas di masa lampau. Rumah adat ini selalu menghadap ke timur atau barat, menghindari arah kiblat (utara), sebagai wujud penghormatan terhadap tata cara shalat. Menurut catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh pada tanggal Selasa, 12 Agustus 2014, bahan utama yang digunakan dalam pembangunan Rumoh Aceh umumnya adalah kayu pilihan, seperti kayu meranti atau kayu seurune, dan atapnya terbuat dari rumbia atau daun enau, yang memberikan kesejukan alami.
Struktur Rumoh Aceh terbagi menjadi tiga bagian utama yang memiliki makna filosofis mendalam, yaitu Rumoh Inong (bagian ibu), Seuramoe Keue (serambi depan), dan Seuramoe Likot (serambi belakang). Seuramoe Keue merupakan ruang publik dan serbaguna, tempat menerima tamu dan juga tempat shalat berjamaah, menjadikannya ruang yang sangat terbuka. Berbeda dengan Seuramoe Likot yang umumnya diperuntukkan bagi wanita dan aktivitas rumah tangga. Uniknya, di antara dua serambi ini terdapat ruang inti yang lebih tinggi, yang disebut Tamee atau Seulasa Induk, ruang privat yang biasanya menjadi kamar tidur bagi kepala keluarga. Lantai pada bagian ini lebih tinggi tiga hingga sembilan anak tangga dari serambi lainnya, melambangkan tingginya derajat perempuan dalam keluarga.
Konstruksi Rumoh Aceh tidak menggunakan paku besi, melainkan memanfaatkan pasak dan tali ijuk yang kuat. Fleksibilitas ini terbukti menjadi kunci ketahanannya terhadap guncangan gempa bumi. Sebagai informasi, pasca gempa besar yang melanda Aceh pada Rabu, 26 Desember 2004, banyak rumah modern yang roboh, sementara beberapa Rumoh Aceh yang terawat mampu bertahan karena konstruksinya yang elastis. Pada bagian kolong rumah (yurong) dengan ketinggian sekitar 2 hingga 3 meter, biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau lokasi menenun. Filosofi di balik ketinggian ini adalah menjauhkan kehidupan duniawi dari kehidupan spiritual yang ada di dalam rumah. Dengan detail arsitektur yang bijak dan nilai-nilai Islam yang melekat kuat pada setiap elemennya, Rumoh Aceh berdiri sebagai simbol warisan budaya Aceh yang tak ternilai harganya.