Masjid Raya Baiturrahman: Simbol Ketahanan dan Sejarah Islam Aceh

Di jantung kota Banda Aceh, berdiri megah sebuah mahakarya arsitektur yang melampaui fungsinya sebagai tempat ibadah: Masjid Raya Baiturrahman. Masjid ini adalah ikon spiritual, kultural, dan sejarah Islam Aceh, yang telah menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting, mulai dari era kesultanan hingga perjuangan kemerdekaan, bahkan bencana alam dahsyat. Keberadaan Masjid Raya Baiturrahman mencerminkan ketahanan luar biasa masyarakat Aceh, menjadikannya bukan sekadar bangunan, tetapi monumen hidup yang melambangkan keimanan dan harapan.

Sejarah pembangunan Masjid Raya Baiturrahman memiliki akar yang dalam, dibangun pertama kali oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 Masehi, menjadikannya salah satu masjid tertua di Indonesia. Meskipun bangunan aslinya telah mengalami beberapa kali renovasi dan rekonstruksi, terutama setelah dibakar oleh pasukan Belanda pada masa Perang Aceh tahun 1873, semangatnya tidak pernah padam. Belanda kemudian membangun kembali masjid tersebut sebagai upaya meredam perlawanan rakyat Aceh, dan desainnya yang kita kenal sekarang—dengan gaya arsitektur perpaduan Mughal (India) dan kolonial—adalah hasil dari rekonstruksi tersebut yang diselesaikan pada tahun 1881. Ciri khasnya adalah satu kubah besar dengan menara, yang kemudian diperluas hingga memiliki tujuh kubah dan delapan menara pada perluasan terakhir.

Namun, momen yang paling mendefinisikan ketahanan Masjid Raya Baiturrahman adalah peristiwa Tsunami Samudra Hindia pada 26 Desember 2004. Ketika gelombang raksasa melanda, masjid ini menjadi satu-satunya struktur besar di pusat kota yang tetap berdiri tegak. Bangunan utama masjid tidak hanya selamat, tetapi juga menjadi tempat berlindung bagi ribuan penyintas. Peristiwa ini memperkuat keyakinan masyarakat bahwa masjid tersebut memiliki perlindungan ilahi, dan statusnya sebagai simbol ketabahan semakin menguat. Setelah bencana, masjid mengalami rehabilitasi dan perluasan yang masif, termasuk penambahan payung hidrolik besar di pelataran, meniru Masjid Nabawi di Madinah, untuk menambah kenyamanan jamaah.

Perluasan terakhir dan modernisasi fasilitas masjid diselesaikan secara bertahap hingga tahun 2017. Pemerintah Aceh melalui Badan Pengelola Dana Otsus (BPDO) melaporkan bahwa proyek ini, yang pengerjaannya mencapai puncaknya pada tahun 2016, menghabiskan biaya total sekitar Rp450 miliar. Tujuan perluasan ini adalah untuk menampung lebih dari 20.000 jamaah dan meningkatkan fasilitas pendukung wisata religi. Dengan sejarah panjang yang penuh perjuangan, dari penaklukan kolonial hingga bencana alam, Masjid Raya Baiturrahman terus berdiri kokoh, tidak hanya sebagai landmark arsitektur yang indah, tetapi sebagai mercusuar spiritual yang abadi bagi seluruh masyarakat Aceh.