Kopi Gayo, yang berasal dari dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah, tidak hanya dikenal karena kualitas bijinya yang mendunia, tetapi juga karena telah melahirkan sebuah fenomena sosial yang kuat, yaitu Budaya Ngopi. Di daerah asalnya, kopi Gayo telah menjadi denyut nadi perekonomian dan interaksi sosial masyarakat. Varietas Arabika Gayo, dengan profil rasa yang kompleks, memiliki aroma herbal, body yang kuat, dan tingkat keasaman yang seimbang, berhasil menarik perhatian penikmat kopi dari seluruh penjuru dunia. Nama “Gayo” sendiri kini menjadi sinonim dengan kopi Arabika premium, dan kekayaan cita rasa ini tidak lepas dari ketinggian tempat tanam, yang rata-rata berada di atas 1.200 meter di atas permukaan laut, serta metode pengolahan semi-basah (Giling Basah) khas petani Aceh.
Sejarah kopi di Gayo bermula sejak masa kolonial Belanda, di mana tanaman kopi Arabika pertama kali diperkenalkan ke wilayah tersebut pada tahun 1908. Namun, Budaya Ngopi yang kita kenal sekarang baru benar-benar menguat pasca-kemerdekaan. Kedai kopi tradisional (disebut warung kopi) di Takengon, Bener Meriah, dan Aceh Tengah menjadi ruang publik utama, tempat para petani, pedagang, dan tokoh masyarakat berkumpul setiap pagi dan sore. Kegiatan ini melampaui sekadar minum kopi; ia adalah ajang diskusi, transaksi dagang, dan penyelesaian masalah sosial, mencerminkan nilai-nilai komunal yang kuat dalam masyarakat Gayo. Para petani Gayo, yang rata-rata memiliki lahan kecil, sangat mengandalkan sistem koperasi untuk mengelola hasil panen dan menjaga kualitas biji. Salah satu koperasi kopi tertua, yang berdiri sejak tahun 1980, mencatat bahwa kualitas kopi Gayo organik telah mendapatkan sertifikasi internasional dan diekspor ke 27 negara berbeda.
Keunikan lain dari kopi ini adalah proses pasca-panennya. Teknik Giling Basah, yang menjadi ciri khas kopi Sumatera, memberikan karakteristik rasa unik pada biji kopi Gayo. Dalam proses ini, biji kopi dikeringkan hanya sampai kadar air 30-35% sebelum kulit ari (kulit tanduk) dihilangkan, kemudian dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air ideal untuk ekspor (12-13%). Proses ini menghasilkan body kopi yang tebal dan aroma yang khas. Menurut data dari Balai Pengawasan Mutu Kopi (per 10 Maret 2024), Kopi Gayo menjadi varietas kopi pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis, yang menjamin bahwa produk tersebut benar-benar berasal dari wilayah Gayo. Hal ini memberikan perlindungan hukum atas nama dan reputasi kualitasnya.
Di ranah pariwisata, dataran tinggi Gayo menawarkan pemandangan alam yang indah berupa perkebunan kopi yang terhampar luas mengelilingi Danau Laut Tawar. Wisatawan dapat mengunjungi langsung kebun kopi, menyaksikan proses panen, dan berinteraksi dengan petani. Kesempatan ini menjadi pengalaman edukasi yang berharga tentang bagaimana biji kopi premium diproduksi. Bahkan, beberapa warung kopi di Takengon mulai menyelenggarakan kelas singkat tentang cupping (uji cita rasa) kopi Gayo setiap akhir pekan. Budaya Ngopi yang ramah dan terbuka di Aceh Tengah ini membuat setiap pengunjung merasa diterima dan dapat menikmati secangkir kopi berkualitas sambil meresapi kehangatan keramahan masyarakat Gayo. Berdasarkan informasi dari pemerintah daerah setempat, festival kopi tahunan di Gayo yang diadakan setiap bulan Oktober menarik lebih dari 10.000 pengunjung dari berbagai negara, mengukuhkan Gayo sebagai pusat kopi istimewa di Asia Tenggara.